Kamis, 10 Juli 2008

Ganti yang lebih baik itu dari Allah

“Assalamu’alaikum” sebuah kepala berkerudung merah muncul di balik pintu kantorku.
“ Wa’alaikumussalam, Aisyah, masuk!”
dengan senyum berbunga-bunga dia masuk ke ruanganku dan duduk tanpa aku minta.
“ Kenapa senyum-senyum sepertinya bahagia sekali.”
“ Zahra, Masih ingatkah cerita tentang sepupuku yang tempo hari kuceritakan padamu? Dia laki-laki yang baik, agamanya juga bagus. Insya Allah”
Aku tersenyum melihat tingkah sahabatku yang satu ini.
“ Kok jadi kamu yang bahagia gini.Seharusnya aku donk yang bahagia”
“ Ya harus bahagia donk. Kalo lihat sahabatnya nantinya juga akan bahagia”
“ Apakah dia juga pasti mau denganku?”
“ Aku sudah ceritakan semua padanya tentang kamu dan sepertinya dia senang dengan ceritaku. Maksudku sepertinya kamu wanita yang sedang dia cari. Kriterianya pas gitu lho.”
“ Sudah kamu ceritakan semuanya tentang aku? “
“ Sudah”
“ Yakin? Tanyaku untuk memastikannya.
“ Insya Allah, aku sudah ceritakan tentang sifat fisik kamu dan juga sifat-sifatmu yang aku ketahui”
“ Apakah kamu sudah menceritakan tentang statusku?”
“ Statusmu?”
“ Iya, statusku yang janda beranak satu.”
“Apakah itu penting, Zahra?”
“ Buatku itu paling penting.”
Aisyah tertunduk sesaat, raut wajahnya menjadi sedih.
“ Belum, Zahra”
“ Kenapa?”
“ Aku pikir itu nanti saja kalo kalian sudah bertemu dan ada kecocokan.”
“ Menurutku itu adalah hal penting yang diketahui pertama kali, Aisyah.”
Kali ini Aisyah hanya tersenyum tipis dan memandangku dengan tatapan sayu.
“ Aku takut Zahra, jika sepupu sudah tahu duluan siapa kamu, nanti malah dia gak tertarik lagi denganmu. Karena aku takut kejadian 3 bulan yang lalu terulang lagi, ketika sabahat kita Aina mengenalkanmu pada teman sekantornya dan ketika mendengar bahwa kau adalah seorang janda dan sudah mempunyai anak dia langsung menolak untuk dikenalkan padamu.”

Aku hanya tersenyum, bisa kurasakan getaran pedih dalam hatiku mengingat kejadian 3 bulan yang lalu. Pedih memang ketika aku sudah tertolak hanya karena status janda. Padahal sebelum diceritakan tentang statusku teman sekantor Aina sangat antusias sekali ingin berkenalan denganku tapi setelah mengetahui statusku dia langsung menyatakan permintaan maafnya pada Aina untuk tidak memulai Ta’aruf itu. Sedih sekali. Tiap malam kumenangis di setiap sujudku. Aku bertanya pada Allah. Apa salahku? Kalopun aku menjadi seorang janda itu juga bukan mauku. Ini adalah kehendak Allah yang menguasai hidup. Suamiku meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Siapa yang mau ditinggal mati suaminya? Tentu tidak seorang istripun yang menginginkannya. Suami yang selama itu mendampingi hari-hari kita, menjaga kita, menafkahi kita. Kini telah ditiada. Tinggallah diriku sebagai single parent yang harus menafkahi anakku. Buah cinta kami Qotrunnada Firdaus dan aku biasa memanggilnya dengan Nada.

“ Zahra, kok malah ngalamun?”
“ Astagfirullah, maafkan aku, Aisyah”
“ Kamu pasti sedang sedih ya.”
“ Maafkan aku Zahra”
“ Kenapa minta maaf. Aku yang seharusnya minta maaf telah merepotkanmu. Kalian, kamu dan Aina adalah sahabat terbaikku”
“ Kami hanya ingin melihat engkau bahagia kembali seperti sedia kala. Kami hanya ingin kamu menemukan pendampingmu kembali. Yang lalu Almarhum Mas Ahmad telah kembali disisi Allah. Dan Kami yakin dia sudah tenang disana. Sekarang tinggal kamu Zahra. Zahra, kamu harus bangkit lagi, kamu tidak boleh bersedih lagi.”
Air mataku mulai membasahi pipiku. Aisyah mengambil selembar tissue dan diberikan padaku.
“ Terima kasih, Aisyah”
“ Kamu harus yakin bahwa ganti dari Allah pasti lebih baik. Masih ingatkan Doa dari Ummu Hurairah yang pernah aku ajarkan padamu.”
“ Iya, Aisyah. Sesungguhnya semua adalah milik Allah dan akan kembali padaNya. Ya Allah, Semoga Kau beri pahala dari cobaan ini dan semoga Kau beri ganti yang lebih baik.”
“ Sipp, yakinlah pasti Allah akan mengabulkan doa hambaNya yang sabar. Aku akan beritahukuan pada sepupuku tentang statusmu dan semuanya tentang kamu. Kalo memang dia jodohmu semoga dia bisa menerima kamu apa adanya. Dan jikalaupun dia bukan jodohmu semoga Allah memberi ganti yang lebih baik. “
“ Tetap istiqomah dan juga jangan lupa sholat istikharoh ya Zahra.”
“ Iya. “
“ Aku pulang dulu, sebentar lagi suamiku menjemput. Kamu juga harus cepat-cepat pulang. Kasihan Nada pasti sedang menunggu bunda tercintanya.”

Untungnya ketika Aisyah masuk ke kantorku hari sudah sore dan karyawan sudah sebagian pulang sehingga tidak harus melihat airmataku yang mengalir. Kutarik napas dalam-dalam dan kucoba hembuskan perlahan. Subhanallah, Alhamdulillah. Terima Kasih Ya Allah, Kau berikan aku sahabat-sahabat yang baik hati. Tidak bisa kubayangkan jika tanpa meraka disampingku. Merekalah yang selama ini mendampingiku menjalani hidupku yang sepi sepeninggal suamiku. Mereka yang mengingatkanku setiap malam untuk sholat tahajud, mereka yang menguatkanku untuk sabar menghadapi cobaanku. Mereka yang membangkitkan semangatku untuk tetap teguh dan istiqomah dijalan Allah ketika hati ini mulai merapuh. Terima kasih teman. Airmataku menetes lagi dan menghangatkan pipiku.

Kujalani hari-hariku seperti biasanya, menjalani rutinitas, sendiri tanpa pandamping karena aku memang tinggal bertiga dengan Nada dan seorang saudara dari kampong yang bertugas menjaga Nada di Jakarta ini. Hanya Nada lah pelipur laraku, bidadari kecilku. Menyejuk hatiku disaat sedih dan mengobar semangatku disaat aku rapuh. Sementara keluargaku berada jauh di kota Apel Malang. Karena harus bertahan hidup dan menafkahi buah hati kecilku inilah aku hijrah ke Jakarta. Dan seperti biasa jam sudah menunjukkan 16.50 WIB. Waktunya pulang nich sebentar lagi. Kurang 10 menit lagi. Kerjaanku sudah beres, tinggal merapikan meja saja.

“ Assalamu’alaiakum.”
“ Wa’alaikumussalam. Ada apa Aisyah? Kamu ada masalah kok sepertinya tidak sedang bahagia.”
” Kerjaan dach kelar, Aisyah.”
“ Sudah “
Seperti biasa Aisyah langsung nyelonong duduk. Tapi kali ini kursi yang letaknya di depan mejaku ditariknya mendekatiku. Sehingga kita duduk bersebelahan.
“ Ada apa sich Aisyah?”
“ Ada yang ingin aku sampaikan ke kamu.”
“ Masalah apa itu?
“ Masih ingat pembiacaraan kita sebulan yang lalu? Tentang sepupuku yang ingin aku kenalkan padamu.”
“ Iya, aku masih ingat.”
Hati berdegup kencang dan bertanya-tanya ada apakah ini gerangan. Kalo dilihat dari wajah Aisyah yang tidak tampak senyum sedikitpun dari mulai mengucapkan salam hingga duduk di kursi ini. Aku jadi penasaran adapakah gerangan? Mungkinkan sepupunya menolak diriku. Oh, sedihnya aku. Ya Allah, Kuatkan lah hatiku.
“ Zahra, ahad kemarin. Kami sekeluarga silaturrahmi ke rumah tanteku. Ibu dari sepupu yang pernah aku certain ke kamu.”
“ Terus?” Aku mulai tak sabar mendengar cerita dari Aisyah.
“ Ya, kemudian aku dan suamiku ngobrol-ngobrol dengan sepupuku itu. Kami meninjaklanjutin tentang kamu. “
“ Terus?”
“ Aduh, Zahra. Kamu kok terus terus sich.”
“ Aku harus bertanya apa? Aku bahkan tidak tahu ceritanya”
“ Kami ceritakan lagi siapa sesungguhnya kamu bahkan statusmu yang telah janda dan beranak satu.”
Hatiku mulai berdegup kencang, apakah gerangan jawaban dari laki-laki ini.
“ Apa komentarnya?”
“ Ternyata dia bilang……”
Aisyah tidak meneruskan kata-katanya, aku jadi resah. Mungkin laki-laki itu keberatan kalo ternyata aku adalah seorang janda beranak satu. Ya Allah, mungkin dia bukan jodohku.
“ Zahra, kamu jangan sedih gitu donk.”
“ Aisyah, siapa yang sedih. Katakan saja yang sebenernya. Aku sudah siap mendengar apapun. Sekalipun itu adalah jawaban yang mungkin menyakitkan. Aku sudah ikhlas dengan kondisiku ini. Bisa dipahami kok Aisyah. Aku sudah ikhlas dengan takdir yang Allah berikan padaku. Mungkin memang cobaanku belum berakhir. Tapi aku akan sabar menerimanya. Pasti Allah sedang menyiapkan sesuatu yang lebih baik buat aku.”
Aisyah memandangku dalam-dalam. Tapi kali ini pandangannya lain. Pandangan bahagia sekalipun tidak terucap sesuatu katapun di bibirnya. Tapi aku tidak mau menebak apapun juga. Aku sudah pasrah. Akhirnya senyum tipis dibibirnya mengembang. Tiba-tiba dia berteriak
“ Subhanallah, Alhamdulillah” sambil memelukku erat.Aku masih dibuat bingung dengan sikapnya.
“ Ada apa Aisyah? Aku tidak tahu maksudmu?”
“ Zahra, sepupuku tidak masalah dengan statusmu. Dan dia ingin segera dapat ta’aruf denganmu.” Aisyah melonjak-lonjak kegirangan.
“ Subhanallah, Alhamdulillah. Terima kasih ya Allah. Benarkah?” Kini kami melonjak-lonjak kegirangan pula seperti layaknya sepasang anak kecil yang sedang bahagia.
“ Iya, Aku dan suamiku bersedia membantu kalian untuk ta’aruf. Gimana? Kapan kamu punya waktu?”

Aku tak tahu apa warna pipiku saat ini, mungkin merah atau pink. Yang pasti aku bahagia. Ya Allah berikanlah pilihanMu dengan IlmuMu, berikanlah keputusanMu dengan kekuasaanMu, berikanlah nikmat yang Agung dariMu. Engkau yang Maha Kuasa sedangkan aku tidak menguasai apapun. Engkau yang Maha mengetahui sedangkan aku tidak mengetahui apapun. Jika memang ini adalah jodoh yang terbaik untukku mudahkanlah bagiku, dekatkanlah padaku, namun jika ini bukanlah jodoh terbaikku jauhkanlah dia dariku dan gantikan dengan yang lebih baik. Sesungguhnya ganti yang lebih baik itu dariMu. Amin.

Tidak ada komentar: