Selasa, 29 April 2008

Semoga.....

Aku harus bilang apa? apakah ini cobaan atau kah ini karunia. Orang selalu berkata "Selamat telah menduduki posisi baru", tapi justru membuat getir hatiku. Aku bahkan tidak pernah bermimpi diposisi ini. Aku bahkan tidak pernah menyangka akan berada disini. Melihat begitu besar amanah yang harus aku pegang.

Lelah bukan lagi menjadi milik raga ini, tapi telah menjadi milik jiwa ini. Aku yakin semua ini tidak lepas dari campur tangan Allah. Semua ini adalah kehendaknya. Dan jika Allah telah memberikan ini padaku berarti Allah tahu aku mampu menjalaninya. Setitik air mata mengalir menemani doa semoga semua berjalan baik-baik saja.

Rabu, 23 April 2008

Nikmat = Cobaan

Apa gambaranmu tentang nikmat? pasti segala sesuatu yang indah. Ketika kita mendapatkan apa yang kita inginkan. Sesuatu yang kita idamkan, kita impikan, yang membuat kita menjadi mudah dan membahagiakan. Lalu apa gambaranmu tentang cobaan? Sesuatu yang sulit, airmata, kesedihan, kegundahan, sesuatu yang tidak kita inginkan. Tapi pernah kamu menyadari bahwa nikamt selalu datang bersama cobaan. Atau sebaliknya cobaan bisa datang bersama dengan kenikmatan.

Sesuatu yang kita anggap nikmat bisa berupa cobaan jika kita lupa mensyukurinya. sebaliknya cobaan bisa berupa nikmat jika kita telah menemukan hikmah yang terdapat didalamnya. Nikmat kaya atau materi kalo kita lupa bersyukur dan menggunakan materi ini tidak di jalan Allah bahkan untuk sesuatu yang dimurkai Allah.Maka akan berakibat pada kehidupan kita kelak baik di dunia maupun di akhirat. karena itu juga harus dipertanggungjawabkan kelak. Nikmat keturunan, jika kita tidak mendidik dengan baik cobaanlah yang datang. Nikmat Fisik apalagi jika tidak bersyukur akan timbul fitnah. Nikmat jabatan, setiap kali orang naik pangkat pastilah orang-orang akan memberi selamat.Tapi tahu kah kamu, bahwa kamu sedang berhubungan dengan cobaan yang lebih berat dimana kamu harus mempertanggungjawabkan amanat ini di hadapan manusia maupun dihadapan Allah Azza wa Jalla.

Maka, ingat lah jika kamu mendapatkan nikmat bersyukurlah dan jangan terlalu banyak bergembira karena cobaan sebenernya berada di dalamnya. Dan jika mendapatkan cobaan jangan terlalu bersedih, kalo kamu mau mengambil hikmahnya pasti kamu akan bersyukur telah datang cobaan padamu.

Kamis, 10 April 2008

TakdirMu berlaku padaku

Akhirnya aku menyadari dan memahami semuanya. Bahwa Allah menetapkan sesuatu tidaklah sia-sia belaka. Pasti ada makna dan hikmah yang terkandung di dalamnya. Aku pernah merasa bahwa aku telah salah mengambil sebuah keputusan. Tapi mau bagaimana lagi ya harus dijalani. Sampai aku akhirnya aku terjun ke dunia yang memang aku pelajari itupun aku belum puas dan yakin kalo ini adalah jalanku. Aku masih menganggap bahwa tempatku bukan disini. Aku berkali-kali mengatakan aku tak suka dengan yang kukerjakan. Aku bahkan berulang kali mencari-cari sesuatu yang pas untukku. Sampai kutinggal apa yang sedang kukerjakan meskipun sebenarnya bukan semata-mata untuk meninggalkan tapi saat itu ada suatu hal yang membuat aku harus melepaskan semuanya. Jadi kesempatanku untuk meninggalkan apa yang selama ini aku kerjakan.

Setalah sekian lama mencari dan mencari yang aku inginkan dan aku impikan. Aku berada di titik bahwa aku merasa tak berdaya. Dan pertolongan Allah datang padaku. Aku menyakini bahwa janji Allah itu pasti. Aku selalu meyakini bahwa suatu hari nanti Allah pasti akan memberi aku ganti yang jauh lebih baik. Tapi ternyata ganti itu yaitu aku harus kembali kepada apa yang aku kerjakan dulu.

Subhanallah, Sekali-kali Allah menciptakan sesuatu tidaklah sia-sia. Begitu juga jalan hidup maupun Takdir yang kita jalani itu pasti mengandung makna yang terbaik dalam hidup kita kalo kita mau berbaik sangka kepada Allah. Bukankan Allah adalah prasangka hambanya.

Ya Allah, Ya Robb, KeputusanMu Adil bagiku dan TakdirMu Berlaku Padaku

Rabu, 09 April 2008

Langit Jingga

Surya mulai beranjak dari singgasanananya, warna merahnya mulai pudar ketika aku menginjakkan kakiku di kota ini. Mobil yang membawaku melaju dengan kencang menelusuri jalan yang kecil beraspal.. Aroma kota ini mulai tercium, tidak hanya itu aku juga mulai terbawa oleh kenangan2 di kota ini. Meskipun hanya setitik kenangan yang pernah kami tinggalkan. Mobil mulai memasuki halaman rumah yang cukup besar, sebenarnya bukan hanya ini satu2nya rumah besar disini. Tapi ini salah satu rumah yang dianggap cukup bagus untuk ukuran orang desa. Orang bilang sich ini rumahnya Priyayi kalo orang jawa bilang. Padahal penghuni rumah ini juga bukan priyayi yang keturunan keraton atau kerajaan darimanapun. Hanya karena keluarga ini memang cukup terpandang di desa ini karena pemiliknya orang yang cukup berpendidikan dan pegawai negeri yang sudah memiliki kedudukan.

Masih tidak ada yang berubah sedikitpun disini. Mungkin sudah setahun yang lalu aku terakhir datang ke sini. Aku mulai menaiki tangga menuju kamar. Kamar ini, Kamar ini belum berubah. Semua letak interior nya tidak ada yang bergeser sedikitpun. Buku – buku susunannya masih sama. Hanya berkurang saja jumlahnya.Itupun pasti yang mengambil aku. Agak kotor, berdebu sepertinya gak ada yang masuk ke kamar sini. Apakah kamar ini memang tidak pernah dimasuki orang walaupun hanya sekedar dibersihkan.
” Saya jarang masuk kamar ini, maaf ya mbak agak sedikit kotor dan berdebu. Saya takut kadang merinding kalo masuk kamar sini. ” Kata mbok ijah masuk sambil tergopoh-gopoh membawa tasku ke kamar.
” Takut mbok! Kenapa? Bukannya kalo bersihin pagi-pagi. Kan hari udah terang mbok. ”
” Gak tahu mbak, jadi sering keingetan ama jenat ”
” Ada-ada ajah nich mbok ijah”
Jenat adalah panggilan untuk orang yang sudah meninggal dunia. Aku cuman bisa tersenyum kecil.
” Istirahat dulu mbak, apa mau mandi, saya masakan air ”
“ Ntar dulu mbok, saya mau rebahan dulu. Capek “
“ Iya mbak.”
Mbok ijah berlalu dari kamarku dan menutup pintu. Sepertinya dia tahu kalo aku ingin sendiri.

“Bruuuuk!” kujatuhkan tubuhku di kasur. Kupejamkan mata dan mengambil nafas dalam2. Kurebahkan tubuhku tepat dengan kepala di bawah jendela sehingga aku bisa melihat langit yang mulai memudarkan warna senjanya. Aroma nya masih sama. Semuanya masih sama. Sama seperti terakhir kali kami bercengkrama disini. Yang berbeda adalah aku sekarang sendiri disini. Sendiri tanpa dia lagi. Aku bangun dari rebahan dan duduk ditepi tempat tidur. Tanganku meraba sprei yang tampaknya baru dipasang karena kedatanganku. Kamar ini benar-benar tidak ada yang merawatnya. Mungkin juga gak ada orang di rumah ini yang masuk di kamar ini. Sampai mbok ijah tak pernah membersihkan kamar ini saja tidak ditegur. Mungkin kah orang dirumah ini benar-benar tidak peduli lagi atau mungkin mereka tidak sanggup mengenang semua kenangan-kenangan bersama Andi. Andi adalah suamiku. Dia meninggal dunia dua tahun yang lalu karena sakit mendadak. Kami sama sekali tidak menyadari kalo sampai sedemikian parahnya. Mendadak sekali memang. Waktu itu kami baru saja menikah, Tepatnya 6 hari setelah pernikahan kami. Tiba – tiba badannya demam tinggi, aku pikir dia hanya sakit biasa. Setelah diperiksa dokter hanya bilang sakit radang tenggorokan. Selama 2 hari demamnya tak turun juga. Ketika dibawa ke rumah sakit langsung ditempatkan di ICU. Selama dirawat sebenernya aku tak kuasa menahan semua derita yang kurasakan. Apalagi saat itu aku juga sedang sakit. Kutahan rasa sakitku sendiri, rasa lemah dan lemas tapi aku harus tetap kuat. Tak kuasa aku hingga tubuhku menggigil menahan dinginnya malam dan panasnya tubuhku.Di lorong rumah sakit, aku tidur diatas kursi kayu yang dingin dan keras, dengan hembusan angin yang kencang disertai hujan yang tiada hentinya sejak sore. Ah, airmataku menetes lagi teringat kejadian dua tahun yang lalu. Apalagi ketika dia meronta karena sudah tak bisa lagi menahan sakitnya, tidak sadar membuatnya meronta dan mencabut jarum-jarum infus yang menusuk pergelangan tangannya. Aku hanya bisa menangis,
” Jangan, sayang. Jangan kau cabut jarum ini. Jangan!
” Gak papa, aku gak papa kok.”
” Jangan, sayang! ” teriakku sambil menagis. Aku tak dapat lagi menahan tangisku.
” Jangan menagis! Aku gak papa. Aku mau wudhu, sudah tiba saatnya dhuhur”suaranya yang parau mencoba menenangkanku.
Subhanallah, dia masih ingat kalo saat itu adalah waktu dhuhur. Tak bisa kubayangkan orang yang setengah sadar tapi dia masih ingat akan kewajibannya.
” Sayang, kamu bisa tawamum ”
” Tapi aku mau wudhu ke kamar mandi”
” Gak papa, kamu boleh tawayum”
Perlahan – lahan. dia sentuh telapak tanganku, dirabanya dari ujung jari hingga pergelangan tanganku. Awalnya aku tak tahu apa yang sedang dilakukan tangannya terhadap tanganku. Kuperhatikan dengan seksama, tangannya setelah meraba tanganku diusapkan pada bagian tubuhnya awalnya di muka berlanjut ke tangan sampai siku, kemudian ke kepala dan telingga. Subhanallah, dia sedang tawamum menggunakan debu yang melekat di tangaku. Airmataku semakin mengalir begitu derasnya. Ya Allah, kau berikan seorang suami yang begitu mencintaiMu. Dalam keadaan yang hampir tiada daya iya masih bisa tawamum. Setelah sempurna tayamumnya dia sholat dhuhur. Kulihat dia sholat dalam keadaan berbaring tiada daya.Kulihat semua itu dalam mataku yang buram karena air mata yang menutupi pandanganku.
” Ya Allah, sembuhkan dia, berikan kesempatan pada kami untuk mengarungi bahtera ini. Ya Allah aku mohon kabulkan doaku saat ini.”
Setelah sholat dhuhur dokter meminta kami semua untuk keluar
” Ibu, biarkan Bapak istirahat terlebih dulu. ”
Dan sehari kemudian, suamiku menghembuskan nafasnya yang terakhir. Bahkan dia tak sempet berpesan sesuatu kepadaku. Tubuh ini seperti ditimpa batu yang sangat berat,hati ini seperti dirobek dengan sebilah pisau. Saat itu aku cuman bisa melihat tubuh suamiku yang membujur kaku. Orang2 memegangi tanganku supaya aku tidak meronta-ronta. Saat itu rasanya ingin berteriak. Teriak sekeras-kerasnya. Menangis sekencang-kencangnya. Syukurlah Allah masih memberikan rahmatNya padaku. Kalo tidak mungkin saat itu aku sudah seperti orang gila. Tapi ku coba menenangkan diriku. Duduk diam sambil menyebut nama Allah. Aku yakin kan dalam hatiku bahwa inilah jalan yang terbaik buat kami. Berkali – kali aku berkata dalam hati
” Ini yang terbaik kan Ya Allah buat aku .....Inikan yang terbaik....Ini jalan yang terbaik kan... untuk kita berdua.”
Tetes airmata mengalir deras diiringi oleh derasnya hujan yang mengguyur bumi. Syukurlah Allah memberikan kekuatan pada diriku hampir semua prosesi pemakaman tak aku lewatkan.
” Astagrifullah, apa yang sedang kupikirkan”.
Aku sudah berjanji untuk tidak menangis lagi. Kuseka air mataku dan menarik nafas dalam-dalam dan kuhembuskan pelan sambil berbisik lirih.
” Astagfirullah ”
Suara adzan magrib terdengar memecah lamunanku. Akupun bergegas menuju kamar mandi disebelah kamar. Saatnya sholat maghrib dan memohon ampun kepada Allah SWT.
----------------------------

” Dik, gimana kabarnya?” sapa mbak pipit kakak iparku.
” Baik mbak, Alhamdulillah ”
” Udah sholat magrib?”
” Sudah ”
” Makan dulu udah ditunggu ibu di ruang makan.”
” iya, ini juga mau turun ”
Kuturuni anak tangga, dan kemudian berbelok ke ruang makan. Disana sudah ditunggu ibu dan bapaknya Andi. Atau mertuaku.
” Ayo, makan. Ibumu gak masak apa-apa.” Bapak menggoda ibu

Bapak memang paling tahu membuat orang tersenyum. Sejak kematian suamiku ibu mertuaku memang jadi pendiam, jika duduk sendirian pasti dia akan menangis. Aku bisa merasakan apa yang beliau rasakan. Kematian Andi memang meninggalkan kesedihan yang mendalam apalagi Andi adalah anak kesayangannya. Tak henti-hentinya dia bercerita tentang Andi. Masa kecilnya, prestasinya, semuanya tentang Dia. Dan setiap beliau bercerita hatiku selalu gemiris.

Malam ini dingin, suara gerimis memecah kesunyian malam ini. Aku mengambil nafas dalam-dalam. Aku disini, dirumahmu. seharusnya aku sekarang bersamamu. Mendekap erat tubuhmu atau bercengkerama bersamamu atau mungkin kita berbicara tentang buku-bukumu di tempat tidur ini, sebelum mengisi malam panjang bersamamu atau mungkin sekarang kita sedang bermain dengan buah cinta kita. Tapi aku sekarang ini sendiri. Kutengok ke kiri bantal disampingku kosong kubelai tempat kosong di sampingku. Kosong bener-bener kosong. Ternyata aku tidak bermimpi. Ah, aku berkhayal lagi. Ya Allah, ampuni aku. Bukan aku tak ridho dengan takdirMu. Tapi kadang diri ini belum bisa melupakan dia begitu saja. Kuhirup lagi nafas dalam2 kali ini sambil meneteskan air mata yang menghangatkan pipiku yang dingin. Aku coba pejamkan mata tapi ternyata susah sekali. Saat ini yang kurasakan hanya kerinduan yang mendalam dan selalu berharap engkau ada disini. Astagfirullah, Astagfirullah.Aku menghela nafas panjang dan tak henti-hentinya mohon ampunan pada Allah. Aku bangkit dari tempat tidur dan duduk dilantai tepat di depan rak buku suamiku. Buku –bukunya masih tersusun rapi. Tapi berdebu, mungkin karena tak ada yang menyentuhnya. Aku tahu kalo suamiku memang suka membaca. Tapi aku tak pernah tahu buku bacaan macam apa yang disukainya.
” Koleksi buku yang aneh ” gumamku dalam hati. Karena aku tidak bisa memahami buku –buku nya. Aku baru tahu koleksi buku-bukunya setelah aku menikah dengannya. Terkejut juga ternyata koleksinya banyak sekali. Paling banyak buku agama yaitu buku-buku Tasawuf Ibnu Qayyim. Aku bilang ini buku tingkatan tinggi. Mungkin karena kebodohanku sehingga aku harus berkata demikian atau mungkin karena dangkalnya keimananku sehingga aku merasa belum cukup otakku dan imanku membaca buku seperti ini. Tidak cuman itu ada juga bukunya mengenai kematian ” Berbicara dengan Kematian” yang intinya menyambut kematian dengan senyum.
”Who are you?” Siapa sich Andi, aku jadi bertanya sendiri siapa suamiku sebenarnya. Apa sich maksudnya semua ini. Aku tahu semua pasti mati dan semua memang harus mempersiapkan kematiannya. Tapi berapa sich orang di dunia ini yang memang bener-bener sadar sedang merencanakan kematiannya. Aku juga berpikir apa dia tahu kalo dia umurnya tak panjang.”
” Aduh pertanyaan macam apa ini, siapa yang tahu kalo mau mati hari ini, esok, lusa atau kapan?”
Pertanyaan bodohku mulai muncul di kepalaku. Cepat-cepat aku beristighfar kepada Allah.
Buku koleksinya selain buku agama juga ada beberapa novel. Masih novel-novel orang kita sich, malah novelnya Sastra Wangi ternyata jadi koleksinya. Salah satunya Supernovanya Dewi, Pintunya Fira Basuki, ”Saman”nya Ayu Utami, Koleksi Novel Karya Gola Gong juga memenuhi rak bukunya.
Oh, suamiku, seandainya kamu disini aku tak perlu membaca satu persatu buku-buku ini aku tinggal memintamu bercerita tentang buku-buku ini, itupun sepertinya aku sudah puas.Aku menghela nafas panjang. Malam menjadi semakin sunyi. Syukurlah sekarang aku sudah mengantuk.
--------------------------------------------
Matahari pagi bersinar begitu cerahnya, sinarnya hangat menyentuhku. Pagi-pagi sekali aku sudah rapi dan kemudian keluar dari kamar dan menuruni anak tangga rumah ini. Di ruang tamu ada ibu mertuaku sedang menyiapkan sarapan untuk bapak.Orang-orang sudah mulai sibuk mempersiapkan untuk acara nanti malam. Para wanita mempersiapkan makanan, Bapak-bapak yang tidak lain adalah om-om dari Andi atau yang sering disebut Pak Lek mempersiapkan kardus untuk pangajian malam nanti. Kalo orang desa sering menyebut ”kepungan”. Kompak sekali memang keluarga ini. Aku bahagia sekali berada di dalam keluarga ini. Tapi sayang kau tidak bersamaku saat ini, Suamiku. Aku kadang membayangkan kita datang dari Jakarta bersama dengan anak-anak lucu kita yang akan meramaikan rumah ini.
” Kamu bantu ibu masak ya buat acara nanti malam”.
” Baik, Bu.”
Hari yang sibuk karena aku harus meyiapkan acara semalam. Dan itu memang tujuanku datang kemari untuk menghadiri acara dua tahun kematian suamiku.
-----------------------------------------------

Hari menjelang sore, sepertinya enak untuk jalan-jalan, apalagi urusan rumah untuk nanti malam sudah selesai. Mertuaku dan kerabat keluarga sedang beristirahat. Aku melangkah keluar rumah dan berjalan menyusuri jalan besar di depan rumah itu dan kemudian aku belok kiri di jalan kecil. Jalan yang dipagari oleh pagar tanaman yang tinggi. Pagar khas pedesaan. Aku berjalan terus sampai akhirnya aku melewati area persawahan yang luas. Sejenak hati merasa damai. Enak mungkin hidup dipedesaan yang masih asri. Merasakan harumnya bau tanah, menyentuh dedaunan yang masih basah, hijaunya pohon menyejuk mata, lalu lalang orang-orang bersepeda dengan senyum sapa ramah mereka. Wah sebentar lagi mau sampai ke tempat yang aku tuju. Langkahku aku percepat sepertinya aku sudah tidak sabar lagi ingin segera sampai. Sambil dalam hati aku tata emosiku. Aku gak boleh menangis. Tidak boleh menagis. Tidak boleh!. Tenang..tenang.. berulang kali aku ucapkan di dalam hati.

Akhirnya aku sampai ke tempat yang aku tuju. Kulangkahkan kakiku hati-hati masuk ke sebuah gerbang. Ya sebuah gerbang yaitu gerbang pemakaman umum dimana suamiku disemayamkan. Aku lewati beberapa nisan untuk sampai di nisan suamiku. Sampai akhirnya. Aku duduk di samping pusaranya. Kupanjatkan doa untuknya. Aku sempat duduk terdiam melihat pusara itu. Gundukan tanah yang belum di semen. Kalo orang Jawa harus menunggu 3 tahun setelah kematian atau ”nyewu” yang artinya seribu. Kupandangi gundukan tanah merah didepanku, masih basah munkin kena tetesan embun dari dedaunan kamboja yang menaunginya atau mungkin gerimis tadi siang. Ah entahlah. Kemudian pandangku beralih ke kayu nisan yang mulai dimakan rayap. Disitu tertuliskan nama suamiku. Kubaca berkali-kali nama itu. Aku berharap aku salah membaca. Aku ulangi lagi. Kubaca lagi. Oh namanya benar, tanggalnya juga benar. Coba kubaca lagi. Benar ternyata benar. Benar itu nama suamiku. Oh nama suamiku. Setiap kali aku duduk dikuburan suamiku nisan kayu bertulis namanyalah yang selalu aku pandangi dan kubaca berulang2 tulisan diatasnya bahkan pernah sampai aku eja dari huruf ke huruf. Rasanya tak percaya memang. Tak percaya bahwa yang tertulis memang nama suamiku dan begitu pula yang berbaring di dalamnya. Tanpa kusadari airmataku hampir luluh dipipi. Tapi buru-buru kuseka dan aku mencoba untuk menahan. Aku sudah berjanji untuk tidak menangis disini. Tidak!...aku tidak boleh menangis. Tapi ternyata aku tak bisa membendung air mata yang menetes di pipiku. Ya Allah, Ya Rabb, aku tidak sedang meratap. Karena celakalah aku jika aku meratap. Tiada kata yang keluar dari mulutku kecuali kata yang dapat membuat Kau ridha.

Sayang, maafkan aku. Kalo tidak menangis hari ini bukan berarti aku tidak rindu padamu, bukan juga aku tidak sayang lagi padamu. Ataupun tidak lagi mencintaimu. Tapi semua ini kulakukan karena aku sedang berusaha untuk merelakanmu, mengikhlaskanmu, melepaskanmu untuk kembali kepada pemilikmu. Hidupku belum selesai dan aku sedang berjalan ke depan melanjutkan hidupku yang masih panjang, masih banyak mimpi yang tertunda dan masih banyak tantangan yang harus diterjang. Sayang, kalo aku jarang kemari bukan berarti aku tak ingat lagi padamu, karena doa-doaku untukmu tak pernah terlupa disetiap langkahku. Kini kita terpisah didalam ruang dan waktu yang berbeda. Selamat beristirahat sayang, semoga kita berjumpa lagi di dalam SurgaNya.

Aku terperanjat dan kaget ketika ada seseorang menepuk bahuku dari belakang. Siapakah gerangan ?Ternyata Bapak mertuaku telah berada dibelakangku.
” Sudah berdoanya, orang-orang rumah bingung cari kamu”
” Bapak, maaf saya pergi tidak bilang.”
” Sudahlah, hari sudah sore sebentar lagi magrib. Ada acara di rumah kita nanti malam. “
“ Iya Pak”
Aku mengangguk dan kemudian berjalan dibelakang Bapak Mertuaku. Kami keluar melewati gerbang pemakaman.
“ Bagaimana Bapak tahu kalo saya ada di sini”
“ Tempat mana lagi yang kamu tahu di desa ini, selain rumah dan pemakaman umum ini”
Aku tersenyum malu.
“ Aku tahu kamu masih sedih, kami pun juga. Tapi ini telah menjadi takdir Allah pada kita. Ikhlaskan saja”
“ Iya Pak “
Air mataku menetes di pipi, sambil berkata lirih dalam hati
” Ya Allah, Semua adalah milikMu dan akan kembali padaMu. Berilah aku pahala dari cobaan ini. Dan berikan aku ganti yang lebih baik.”
Langit jingga menemani laju mobil yang membawaku. Langit jingga menemaniku melangkah untuk terus melaju ke depan. Langit jingga di kotamu. Langit jingga ini yang akan membawaku selalu kembali ke sini.

B I R U

Untaian permatamu…
Laksana percikan pualam di ujung samudra
Fenomena keindahan menyeruak tabir
Antar mimpiku menembus malam
Hiruk pikuk syahdu terlantun lembut

Asaku tumbuh
Keraguanku musnah
Ugggghhhhh…… getar didadaku semakin terasa

Celoteh kepodang emas didahan angsana
Ikuti tarian nuri dipuncak cemara
Nelangsaku hinggap
Telikung rasa…
Amarah yang telah lalu ….. mereda

Perasaanku bergolak
Aku hanya diam
Demam serasa menjalari nadiku
Angkuhku perlahan sirna
Mengganti relung hatikuUntuk selamanya namamu disini ……………


Puisi dari seorg teman, mengingatkan pada dinginnya Tengaran....

Tak seindah harapan kita

Kini aku menyadari tidak semua niat baik kita bisa disambut dengan baik juga. Niat kita yang hanya ingin meringankan beban justru dianggap penghinaan dan malah membuat sakit hatinya. Padahal semua itu sudah disampaikan dengan sebaik-baiknya. Bukanlah sebagai saudara harus saling tolong menolong dan meringankan beban. Tapi yah apa boleh dikata. Semoga saja Allah membuka mata hati dan mau menerima kasih sayang dari saudaranya. Amin.

Kamis, 03 April 2008

Angin

Aku hanya ikuti hembusan angin,
Bagaimana angin berhembus.
Jika kau berhembus dengan kencang,
Aku akan berlari.
Jika kau berhembus dengan pelan dan mengalun,
Aku akan berjalan.
Tapi jika kau tak bergerak,
Aku akan diam bersamamu disini.

Aku takkan berjalan di depanmu,
Karena pasti aku tak dapat menahan kau terpa aku.
Aku takkan berjalan di belakangmu,
Karena pasti aku tak dapat mengejar lajumu,
Tapi aku ingin berjalan disampingmu,
Menemani langkahmu.

Aku tak peduli
apakah hembusanmu akan menyejukkan hatiku
apakah hembusanmu akan membuatku menari seperti kau buat daun itu menari
apakah hembusanmu akan membuatku terbang seperti kau buat putik-putik bunga itu terbang
Namun jangan pernah mencoba memporak-porandakan rumah kalbuku.
Karena aku takkan bisa menerima itu

Angin....
berhembuslah,
Bawa juga mimpi-mimpimu
Sertakan juga diriku