Selasa, 24 Juni 2008

Haruskah Aku yang Memulainya

“ Rena, cobalah kamu yang memulainya dulu, kamu telpon ajah dia dulu baik-baik”
“ Ibu, aku harus bilang apa? Aku malu Bu. Masak wanita dulu yang memulainya”
“ Lha,kamukan gak apa2 cuman telpon bilang apa kabar. Tidak melakukan yang tidak seharusnya”
“ Sekalipun demikian, Rena tetap saja malu Bu.”
“ Rena, sekarang ini jaman sudah maju tidak seperti jaman dulu. Wanita sekarang pintar-pintar, berani. Mengungkapkan cinta wanita terlebih dahulu untuk jaman ini saja sah-sah saja. Ibumu yang sudah generasi tua saja tahu dan bisa memahami. Kamu yang anak kemaren sore kok malah malu.Gimana sich kamu”

Seandainya yang sedang berbicara bukan ibuku sendiri, wanita yang melahirkanku dan membesarkanku pasti saat ini aku sudah menentangnya habis-habisan. Tapi yang dihadapanku adalah ibuku. Wanita yang sangat aku hormati. Sejak sebulan yang lalu memang aku sedang dekat dengan seorang laki-laki. Laki-laki itu adalah Sandi. Sandi adalah sepupu dari teman kerjaku Ratri. Dan orang paling berbahagia atas hubunganku ini adalah ibuku. Bagaimana tidak, jika melihat anak perempuannya yang umurnya telah mendekati kepala 3 ini mulai dekat dengan laki-laki. Dengan harapan inilah jodohnya.

“ Kamu cari yang seperti apa sich Rena? Ibu pikir Sandi cocok untukmu. Gak usah ditunda-tunda lagi”
“ Ibu, siapa yang menunda. Tapi kalo Sandi belum memberi sinyal atau memberi kepastian Rena harus bagaimana bu? Apakah Rena harus menyatakan terlebih dahulu perasaan Rena?”
“ Kalo perlu”
“ Ibu ini kok sepertinya buru-buru sekali sich bu?”
“ Rena. Ibu ini sudah tua. Ibu ingin melihat kamu menikah. Ibu ingin melihat kamu bahagia, Ibu mau menimang cucu sebelum ibu mati”
“ Ibu, kok bilang begitu sich”

Hujan diluar belum reda, langit masih mendung. Rena duduk didekat jendela, diamatinya air yang jatuh ke bumi. Jendela sedikit dibuka olehnya, agar dia bisa mencium harumnya air hujan dan juga harumnya tanah yang basah. Sejak kecil Rena memang suka sekali dengan hujan. Bahkan waktu kecil dia paling hoby hujan-hujannya di taman belakang. Hanya saja jika ketahuan oleh ayahnya pasti dia akan mendapatkan marah dari ayahnya. Hari ini dia melihat hujan dengan seksama, sesekali dia pejamkan matanya, dihirup dalam-dalam aroma yang ada. Matanya menatap air yang turun tapi penuh sarat. Karena ada yang dipikirkannya.

Benarkan aku harus yang memulainya? Aku malu. Mungkin aku wanita kolot yang tidak tahu perkembangan jaman. Memang wanita saat ini dituntut lebih pandai, gesit, tanggap. Tapi bagaimana dengan hal ini. Apakah sama? Aku benar-benar malu sebagai wanita aku harus mengungkapkan perasaanku pada Sandi. Sementara Sandi selama ini hanya bersikap biasa saja tanpa ada perhatian khusus padaku. Aku memang menyukai Sandi. Tapi bagaimana ini ya Allah? Sandi memang laki-laki yang baik. Awal perkenalan kami, Ratri telah banyak bercerita tentang Sandi, dari cerita Ratri saja aku sudah mulai menyukainya. Dan setelah bertemu aku tambah menyukainya. Tapi bagaimana ya Allah, aku tak tahu dimana aku harus memulainya. Aku sangat menginginkan hubungan ini, mengingat waktu yang terus mengerogoti usiaku. Aku sangat ingin berumah tangga. Sementara Ratri tidak bisa membantu banyak. Dia bilang dia hanya sebatas mengenalkan saja. Karena dia ingin jika terjadi sesuatu dikemudian hari dia disalahkan. Tapi disisi lain Sandi belum ada pembicara yang serius apakah dia memang menyukai aku atau tidak. Apakah aku yang harus memulainya? Aku sangat malu. Sebagai seorang muslimah aku sangat malu. Aku tidak peduli dikatakan ketinggalan jaman. Bukankah malu adalah sebagian dari iman. Lagipula bagaimana pandangan Sandi sendiri terhadapku? Bagaimana jika dia ternyata tidak suka dengan wanita yang agresif. Ya Allah tolong aku. Aku tidak ingin mempertaruhkan harga diriku ini.

Hujan mulai reda, air dari langit perlahan-lahan berhenti. Tapi air yang keluar dari mata Rena semakin deras. Diantara bingung karena ingin membahagiakan orang tuanya tapi dia tak tahu harus berbuat apa.

Tidak ada komentar: